Jumat, 23 September 2011

Pemodelan Spasial Untuk Penanganan Potensi Kebakaran Hutan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kepemilikan hutan yang sangat luas. Sebagai negara dengan luas hutan 93,92 juta ha pada tahun 2005 (data Departemen Kehutanan) tentu akan banyak menghadapi banyak permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul terhadap keberlangsungan keberadaan hutan adalah masalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan merupakan masalah yang serius, karena selain dampak berkurangnya luasan hutan, dampak lain seperti polusi dan keberlangsungan lingkungan hidup yang ada di dalam hutan itu sendiri.

Dengan dampak yang ditimbulkan, tentu sangat penting tentang pengawasan terhadap daerah hot spot (titik api) di daerah hutan yang ada di Indonesia. Hanya saja, dengan hutan yang sangat luas mengakibatkan permasalahan dalam pengawasannya. Salah satu kegiatan yang populer dilakukan untuk pengawasan dengan sifat realtime, misal menggunakan data dari satelit NOAA ataupun MODIS. Hanya saja, dengan luasan sekian akan membutuhkan sumber daya yang sangat besar.

Salah satu solusi yang bisa digunakan adalah dengan pemodelan spasial untuk mengetahui tingkat potensi kerawanan hutan terhadap kebakaran hutan. Solusi ini bersifat preventif, dimana pada dasarnya dengan menggunakan pemodelan spasial diharapkan mampu memprediksi daerah dengan potensi kebakaran hutan yang tinggi, sehingga dapat mempersempit kawasan hutan yang perlu di-monitoring secara detail.

Pemodelan ini sendiri membutuhkan data indeks fuel type yang diekstraksi dari jenis tutupan vegetasinya, indeks elevasi, indeks kemiringan lereng, indeks aspek relief, dan indeks aksesibilitas dari jalan. Indeks fuel type digunakan untuk memperoleh tingkat potensi dari vegetasi untuk terbakar. Tingkat potensi ini dilihat dari jenis vegetasinya, dimana tiap jenis vegetasi tentu memiliki tingkat ketahanan yang berbeda-beda terhadap api. Untuk indeks elevasi, lereng, dan aspek relief diperoleh dari data DEM atau data ketinggian lainnya seperti kontur. Data-data ini juga digunakan karena dalam proses terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh ketinggian dari suatu lokasi. Selain itu, dengan penggunaan indeks lereng dan aspek relief dapat untuk menggambarkan tingkat potensi persebaran dari kebakaran hutan jika sekiranya terjadi. Untuk indeks aksesibilitas lebih pada tingkat jangkauan untuk dilakukan tindakan penanggulangan kebakaran, dengan logika semakin jauh dari jalan maka proses penanganan kebakaran akan lebih sulit, sehingga akan memperbesar nilai koefisien untuk terjadinya kebakaran yang lebih lama.


Untuk penentuan nilai indeks tingkat potensi kebakaran dapat digambarkan dengan rumusan berikut :

CFRISK = FUI*4 + ASI*3 + SLI*2 +ACI + ELI

Keterangan :

CFRISK = potensi kebakaran hutan

FUI = indeks fuel type vegetasi

ASI = indeks aspek relief

SLI = indeks kemiringan lereng

ACI = indeks aksesibilitas

ELI = indeks ketinggian

Faktor yang mendapatkan nilai paling tinggi adalah indeks fuel type¸dimana kontribusi dari kemungkinan terjadinya kebakaran terhadap vegetasi tersebut paling mempengaruhi. Faktor kedua yang dipertimbangkan adalah faktor aspek relief, dengan alasan bahwa aspek relief menunjukkan posisi hadap terhadap cahaya matahari dari lokasi tersebut. Posisi terhadap cahaya matahari dipertimbangkan karena tentu akan mempengaruhi dari tingkat kekeringan vegetasi yang mempengaruhi dari potensi untuk terbakar.

Referensi :

Dun, Dehra. Forest Fire and Degradation Assessment Using Satellite Remote Sensing And Geographic Information System. Hyderabad, India : Indian Istitute of Remote Sensing (NRSA)

Kamis, 15 September 2011

Pemanfatan Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Pemetaan Imbuhan Airtanah dan Kerentanan Airtanah Di Kawasan Karst

Pemetaan imbuhan airtanah dan pemetaan kerentanan airtanah merupakan suatu langkah penting dalam zonasi kawasan karst. Secara umum, tujuan dari pemetaan imbuhan airtanah dan pemetaan kerentanan airtanah ialah untuk mengetahui sebaran spasial tingkat imbuhan airtanah dan tingkat kerentanan pencemaran airtanah suatu daerah, sebagai upaya pengelolaan kawasan karst itu sendiri. Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000, pengelolaan kawasan karst dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mencakup inventarisasi, penyelidikan, pemanfaatan, serta perlindungan sumberdaya pada kawasan karst.

Zonasi kawasan karst akan menghasilkan suatu peta klasifikasi wilayah dalam tiga kelompok yaitu kawasan karst kelas I, II dan III. Kawasan karst kelas I merupakan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan penyimpan air secara tetap dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga, atau danau bawah tanah; Kawasan yang memiliki gua-gua dan sungai-sungai bawah tanah yang aktif yang membentuk jaringan baik secara horisontal ataupun vertikal; Kawasan yang memiliki gua-gua dengan speleothem (ornamen-ornamen gua) yang aktif; atau Kawasan yang memiliki flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan. Disebut sebagai Kawasan Karst Kelas II ketika Kawasan tersebut berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah yang berupa daerah tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik turunnya permukaan air bawah tanah kawasan karst sehingga secara umum masih mendukung fungsi hidrologis kawasan karst; atau Kawasan yang berfungsi sebagai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan gua yang sudah kering, serta menjadi tempat tinggal yang tetap bagi fauna yang semuanya dapat memberi nilai dan manfaat ekonomi. Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria pada kawasan karst kelas I dan II.

Metode analisis yang dapat digunakan dalam pemetaan imbuhan airtanah dan pemetaan kerentanan airtanah ialah metode APLIS, yang meliputi ; altitud (ketinggian), pendiente (kemiringan lereng), litologia (litologi), infiltraction preferencial (zona infiltrasi), dan suelo (tanah). Setiap variabel dikelaskan, kemudian dilakukan scoring (pemberian skor) berdasarkan tingkat pengaruh variable tersebut terhadap besarnya imbuhan airtanah. Hasil skoring kemudian ditumpangsusunkan (overlay) dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Tumpangsusun dilakukan dengan menggunakan rumus:

R = (A+P+3L+2I+S) / 0,9 (Andreo dkk, 2008)

R = Imbuhan airtanah dalam persen A = Ketinggian

P = kemiringan Lereng L = Litologi

I = Zona Infiltrasi S = Tanah

Analisis yang dapat dilakukan antara tingkat imbuhan airtanah dengan tingkat kerentanan airtanah ialah berbanding lurus, dimana ketika tingkat ibuhan airtanah tinggi pada suatu wilayah maka akan menyebabkan tingkat kerentanan airtanah yang tinggi pula. Hal ini dikarenakan semakin banyak pula air yang masuk ke dalam sistem airtanah, sehingga menyebabkan semakin besar pula peluang masukknya polutan atau kontaminan ke dalam sistem airtanah.

(1/2)


Referensi

Andreo, B., Vías, J., Durán, J.J., Jiménez, P., López-Geta, P. A., dan Carrasco, F. 2008. Methodology for Groundwater Recharge Assessment in Carbonate Aquifers: Application to Pilot Sites in Southern Spain. Hydrogeology Journal, 16. 911–925.

Cahyadi, Ahmad dan Fedhi A.H. 2011. Pemanfatan Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Pemetaan Imbuhan Airtanah Dan Kerentanan Airtanah Di Kawasan Karst (Studi Kasus Di Kecamatan Paliyan Dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul). Yogyakarta: Prosiding SNATI UII.