Indonesia merupakan salah satu negara dengan kepemilikan hutan yang sangat luas. Sebagai negara dengan luas hutan 93,92 juta ha pada tahun 2005 (data Departemen Kehutanan) tentu akan banyak menghadapi banyak permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul terhadap keberlangsungan keberadaan hutan adalah masalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan merupakan masalah yang serius, karena selain dampak berkurangnya luasan hutan, dampak lain seperti polusi dan keberlangsungan lingkungan hidup yang ada di dalam hutan itu sendiri.
Dengan dampak yang ditimbulkan, tentu sangat penting tentang pengawasan terhadap daerah hot spot (titik api) di daerah hutan yang ada di Indonesia. Hanya saja, dengan hutan yang sangat luas mengakibatkan permasalahan dalam pengawasannya. Salah satu kegiatan yang populer dilakukan untuk pengawasan dengan sifat realtime, misal menggunakan data dari satelit NOAA ataupun MODIS. Hanya saja, dengan luasan sekian akan membutuhkan sumber daya yang sangat besar.
Salah satu solusi yang bisa digunakan adalah dengan pemodelan spasial untuk mengetahui tingkat potensi kerawanan hutan terhadap kebakaran hutan. Solusi ini bersifat preventif, dimana pada dasarnya dengan menggunakan pemodelan spasial diharapkan mampu memprediksi daerah dengan potensi kebakaran hutan yang tinggi, sehingga dapat mempersempit kawasan hutan yang perlu di-monitoring secara detail.
Pemodelan ini sendiri membutuhkan data indeks fuel type yang diekstraksi dari jenis tutupan vegetasinya, indeks elevasi, indeks kemiringan lereng, indeks aspek relief, dan indeks aksesibilitas dari jalan. Indeks fuel type digunakan untuk memperoleh tingkat potensi dari vegetasi untuk terbakar. Tingkat potensi ini dilihat dari jenis vegetasinya, dimana tiap jenis vegetasi tentu memiliki tingkat ketahanan yang berbeda-beda terhadap api. Untuk indeks elevasi, lereng, dan aspek relief diperoleh dari data DEM atau data ketinggian lainnya seperti kontur. Data-data ini juga digunakan karena dalam proses terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh ketinggian dari suatu lokasi. Selain itu, dengan penggunaan indeks lereng dan aspek relief dapat untuk menggambarkan tingkat potensi persebaran dari kebakaran hutan jika sekiranya terjadi. Untuk indeks aksesibilitas lebih pada tingkat jangkauan untuk dilakukan tindakan penanggulangan kebakaran, dengan logika semakin jauh dari jalan maka proses penanganan kebakaran akan lebih sulit, sehingga akan memperbesar nilai koefisien untuk terjadinya kebakaran yang lebih lama.
Untuk penentuan nilai indeks tingkat potensi kebakaran dapat digambarkan dengan rumusan berikut :
CFRISK = FUI*4 + ASI*3 + SLI*2 +ACI + ELI
Keterangan :
CFRISK = potensi kebakaran hutan
FUI = indeks fuel type vegetasi
ASI = indeks aspek relief
SLI = indeks kemiringan lereng
ACI = indeks aksesibilitas
ELI = indeks ketinggian
Faktor yang mendapatkan nilai paling tinggi adalah indeks fuel type¸dimana kontribusi dari kemungkinan terjadinya kebakaran terhadap vegetasi tersebut paling mempengaruhi. Faktor kedua yang dipertimbangkan adalah faktor aspek relief, dengan alasan bahwa aspek relief menunjukkan posisi hadap terhadap cahaya matahari dari lokasi tersebut. Posisi terhadap cahaya matahari dipertimbangkan karena tentu akan mempengaruhi dari tingkat kekeringan vegetasi yang mempengaruhi dari potensi untuk terbakar.
Referensi :
Dun, Dehra. Forest Fire and Degradation Assessment Using Satellite Remote Sensing And Geographic Information System. Hyderabad, India : Indian Istitute of Remote Sensing (NRSA)